INDONESIA MENUJU MEA 2015
Indonesia
dan 9 negara anggota ASEAN lainnya akan memasuki Masyarakat ASEAN atau
ASEANEconomic Community 2015 –AEC. Ada 3 bidang utama yang
menjadi fokus pada AEC 2015 yaitu Politik dan Keamanan, Sosial
Budaya, serta Ekonomi. Pada saat ini, pemerintah Indonesia telah menyatakan
kesiapannya terhadap dua bidang utama tujuan dari ASEAN Community yaitu bidang
Politik-Keamanan dan bidang Sosial Budaya. Lantas bagaimana dengan bidang
lainnya yaitu masyarakat ekonomi ASEAN atau sektor ekonomi yang menjadi salah
satu fokus Masyarakat ASEAN 2015? Salah satu tujuan Masyarakat
Ekonomi ASEAN ini adalah untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di
kawasan ASEAN dan membentuk kawasan ekonomi antar negara ASEAN yang
kuat. Menghadapi AEC 2015 tentunya membutuhkan persiapan matang agar
ASEAN dan terutama Indonesia dapat memasuki era itu secara baik.AEC 2015
harus dapat dijadikan sebagai penyemangat dalam upaya meningkatkan daya saing
produk dalam negeri kepada bangsa asing. Pengamat ekonomi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia -LIPI, Teddy Lesmana saat dihubungi RRI World
Service di Jakarta mengatakan bahwa Indonesia masih mempunyai waktu
untuk terus mengedepankan daya saing produk lokal guna diperkenalkan dalam
Masyarakat Ekonomi ASEAN.Bahkan, menurut Teddy Lesmana, salah satu upaya
yang perlu dikedepankan pemerintah untuk mendorong peningkatan daya saing yaitu
dengan mengubah regulasi dan kebijakan yang lebih berpihak pada pelaku
industri. INSERT:“...Paling tidak mungkin yang bisa dilakukan oleh
Indonesia dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN 2015 yang tinggal di depan
mata kita itu, yang bisa dilakukan adalah kita bisa melakukan sejumlah
reformasi dalam segi regulasi dan kebijakan-kebijakan yang paling tidak bisa
membuat kita memiliki daya saing diantara negara-negara di ASEAN.” Lebih
lanjut, Teddy Lesmana menjelaskan, selain mengubah regulasi dan kebijakan, hal
kedua yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi AEC
2015 adalah menyiapkan sumber daya manusia –SDM dalam menghadapi
pasar bebas ASEAN, sehingga Indonesia tidak menjadi peserta
pasif dalam percaturan EAC. Selain itu, Teddy Lesmana juga
mengatakan bahwa pemerintah seharusnya lebih memperhatikan
pengendalian mutu agar produk dalam negeri memiliki daya saing, sehingga
dapat menembus pasar di lingkungan ASEAN. Menurut Teddy Lesmana,
pemerintah dan masyarakat Indonesia harus lebih membuka diri dan melihat
kenyataan bahwa kompetisi antar bangsa semakin ketat, sehingga jika
Indonesia tidak mempersiapkan diri, tentunya akan tertinggal dari negara lain
dan bahkan akan hanya menjadi penonton belaka.Sementara itu, pakar ekonomi dari
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sri Adiningsih saat melakukan dialog dengan
RRI World Service pada hari Sabtu (09/08) di Jakarta menjelaskan
bahwa Indonesia pada dasarnya belum siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015. INSERT: “...Indonesia secara umum sebenarnya belum siap
menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Mengapa? Paling tidak kita melihat track
record kita di dalam pembukaan ekonomi di ASEAN yang sudah dibuka sekarang ini
pasar barang, dan apa kinerja kita di pasar barang ASEAN dulunya surplus
sekarang defisit dan defisitnya semakin meningkat, semakin besar.” Menurut
Sri Adiningsih, stakeholder atau pemangku kepentingan di Indonesia dari
berbagai kalangan belum mempersiapkan diri secara serius dalam
menghadapi AEC 2015, terutama dari kalangan akedimisi di berbagai
perguruan tinggi ternama di Indonesia, kecuali Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Sri Adiningsih membandingkan dengan negara Tiongkok yang
sangat mempersiapkan diri saat menjadi anggota World Trade Organization, bahkan
pemerintah negeri tirai bambu itu rela mengubah
regulasinya. Pemerintah Indonesia harus didukung oleh dunia
usaha, lembaga pendidikan formal dan informal, serta seluruh lapisan masyarakat
untuk menyiapkan diri dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015. Saudara, sekian FOKUS dari RRI World Service, Voice of
Indonesia di Jakarta!
Sumber
: voi.rri.co.id
JOB SEEKER MENGHADAPI MEA 2014
Kesiapan tenaga kerja: tidak
menutup kemungkinan, untuk menjaga ritme produktivitas perusahaan, dibutuhkan
talent yang kompeten. Kami cenderung lebih meng-encourage talent lokal kami
yakni dengan berbagai macam persiapan, salah satunya MT (management trainee)
atau Officer Development Program yang tidak hanya diperuntukkan bagi talent
level staf, melainkan juga untuk supervisor.
Hanya saja, yang disayangkan
adalah environment kita belum menunjang untuk itu. Sebab, kurikulum pendidikan
sering berubah-ubah, sehingga membuat talent yang kita rekrut (sarjana), tidak
begitu siap menghadapi persaingan dunia pekerjaan. Dan mereka baru cukup ready
ketika telah melewati proses Management Trainee. Thats why, untuk
menyiasatinya, kami mencoba hunting talent dari luar (expat). Ini maksudnya
bukan untuk menipiskan prosentasi peluang kerja di perusahaan kami bagi orang
lokal, namun lebih kepada agar expat ini menularkan ilmu kepada talent lokal
kami, baik itu secara teknis, budaya (etos kerja), dan motivasi.
Untuk antusiasme sendiri,
mungkin lebih kepada kekhawatiran. Mudah saja dilihat dari rumah tangga
Indonesia sendiri yang bahkan untuk MEA saja belum begitu concern, melainkan
lebih menyibukkan kepada hal-hal yang bahkan enggak akan ada habisnya, seperti
permasalahan politik misalnya.
Sehingga efek negatifnya bagi
kita adalah dalam hal mempersiapkan talent. Banyak dari mereka yang belum
begitu aware dengan akan diberlakukannya MEA, sehingga perusahaan perlu
men-train lagi untuk mempersiapkan itu. Lha, ini merupakan implikasi dari belum
adanya kurikulum pendidikan yang ditujukan untuk mencetak akademisi yang siap
tempur di dunia bisnis. Namun bukan berarti tidak ada yang siap, ada sih cuma
presentasenya masih sangat kecil, dan kalaupun ada yang compliant dengan kita,
akan menjadi mahal.
Inilah yang membuat orang lebih
beralih hunting talent di negara tetangga. Bahkan kami memetakan basis mana
yang jago untuk bidang manufaktur (Thailand), IT (Malaysia – Singapura),
finance, dan lain sebagainya. Ini juga mengacu pada tingkat UMR employee
Indonesia di beberapa provinsi yang cenderung tinggi. Objektif kami adalah,
mencari talent yang worth it antara kompetensi dengan gaji.
Kemudian menyikapi dari segi
perilaku masyarakat Indonesia yang cenderung lebih tinggi konsumtifnya daripada
produktifnya. Ini bisa membuat pelaku asing lebih leluasa bermain di Indonesia,
apalagi jumlah penduduknya besar. Bahkan ada anekdot, jualan mie saja di
Indonesia bisa jadi konglomerat. Ini juga yang mesti pelan-pelan diubah, mental
konsumtif harus diganti produktif guna mengantisipasi hal tersebut.
Sumber
: swa.co.id
JOB CREATOR
Presiden
Joko Widodo meminta para pengusaha muda Indonesia tidak khawatir menghadapi
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015. Sebab negara-negara tetangga mengalami
kekhawatiran serupa.
Tahun
ini akan dibuka Masyarakat Ekonomi Asean. Semua masih meraba-raba kejadiannya
akan seperti apa. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di
dunia, kata Jokowi, justru Indonesia negara yang paling dikhawatirkan negara-negara
Asean lain. Apalagi persentase dan kompetensi pengusaha tidak ada yang perlu ditakuti
Indonesia. Coba penduduk Indonesia 250 juta, yang lain hanya 40 juta dan 20
juta. Begitu dibuka (MEA) mereka akan diserbu pengusaha Indonesia yang banyak.
Apalagi yang nyerbu HIPMI. Begitu dibuka larinya kenceng, karena banyak
pengusaha mudanya.
Sumber
: palingaktual.com